Jumat, 10 Oktober 2008

Sektor pertanian memperlihatkan gejala demam

oleh : Martin Sihombing & Erwin Tambunan
Suaranya kali ini terdengar pelan. Tidak ada hentakan. Kendati dialog dalam suasana yang cair, tidak formal, embusan napas yang terasa dipaksakan, kerap terdengar.

"Kayaknya, ekspor kita akan turun, nih," ujar Jimmy Chandra, Kepala Divisi Marketing Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK).

Ekspor yang dimaksud Jimmy, tidak lain dan tidak bukan, kayu olahan dan panel dari Indonesia. Terutama ke AS pada tahun depan. Jimmy memperkirakan ekspor itu akan terkoreksi. "Kira-kira 20%. Ini akibat krisis keuangan di Negeri Paman Sam," tuturnya.

Saat ini, Jmmy memperkirakan, penurunan itu belum akan terjadi. Lantaran, para pelaku industri, umumnya diikat kontrak penjualan hingga akhir tahun. "Mungkin tahun depan akan terlihat," ujarnya.

Kendati demikian, dalam riak atau gelombang yang kecil, krisis keuangan itu, 'tamparannya' cukup terasa. Kata Jimmy, salah satu anggota BRIK sudah ada yang mengalami penurunan penjualan. "Besar, hingga 80%. Bahkan beberapa anggota lainnya, sudah menerima pembatalan pesanan dari pembeli di AS," ungkapnya.

Sebab, katanya, penurunan ekspor tersebut tidak hanya ke Amerika Serikat. "Permintaan di pasar Uni Eropa juga," tuturnya.

Tanda-tanda itu sudah terlihat beberapa bulan belakangan. Berdasarkan data BRIK, ekspor produk kayu panel keseluruh negara hingga September 2008 adalah US$850,2 juta dengan harga rata-rata US$458/m3. Tahun sebelumnya, ekspor kayu itu mencapai US$1,46 miliar.

Ekspor kayu panel ke Amerika Serikat pada semester I/2008 turun sebesar 6% menjadi US$53,1 juta, sedangkan 2007 pada semester yang sama US$56,2 juta.

Sementara itu, ekspor woodworking ke seluruh negara pada 2008 (hingga Sepetember 2008) US$735,6 juta, sedangkan total ekspor 2007 sebesar US$1,26 miliar.

Apa yang dikatakan Jimmy seperti diamini Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Dia memperkirakan ekspor produk kayu olahan dan furnitur ke Amerika Serikat akan menurun.

"Krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut, menyebabkan tertundanya pembangunan perumahan," ungkap pemegang gelar Ph.D dalam bidang Perdagangan Internasional, Keuangan, dan Ekonomi Moneter dari Universitas California, Davis pada 1986 itu.

Staf ahli Menteri Kehutanan Togu Manurung mengatakan saat ini daya beli konsumen perumahan di Amerika Serikat semakin berkurang menyusul terjadinya krisis keuangan. "Itu membuat daya beli produk kayu olahan dari Indonesia menurun," tuturnya.

Berkurangnya pembelian itu, katanya, berdampak terhadap pendapatan para pengusaha industri perkayuan. "Apalagi bukan hanya daya beli di Amerika yang berkurang. Tidak tertutup kemungkinan sejumlah negara lainnya, termasuk Eropa juga berkurang kemampuan daya belinya," tuturnya.

Sistem pasar

Sektor kayu olahan, hanya salah satu. Efek krisis keuangan di AS, kendati belum terasa, juga dialami 'saudara' sekandungnya, dalam 'keluarga' agribisnis atau pertanian dalam arti luas, seperti peternakan, perikanan dan perkebunan. Misalnya, seperti dituturkan Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Perikanan Bayu Krisnamurti.

Menurut dia, sektor pertanian akan menerima dampak krisis global dari sisi pasar atau permintaan yang turun.

"Dampak kepada sektor pertanian lebih kepada aspek pasarnya atau permintaannya daripa- da aspek finansialnya," katanya.

Bayu menyebutkan krisis menyebabkan turunnya permintaan di AS, sehingga ekspor Indonesia ke AS termasuk produk pertanian bisa terganggu. Salah satu laporan yang sudah terganggu adalah ekspor kakao.

"Teman-teman pelaku sudah melaporkan mereka mengalami kesulitan tembus ke sana. Padahal, selama ini, sudah ada hambatan dari aturan perdagangan maupun hambatan dari sisi kualitas, sekarang tambah lagi dengan kondisi krisis AS," kata mantan Direktur Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Begitu pun perikanan. Ketua Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo, misalnya, mengung- kapkan hal itu.

Eksportir perikanan nasional ke AS menahan produknya.

"Mereka mulai merasakan dampak penurunan permintaan," kata Ketua Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo.

Namun, dia belum dapat mengalkulasi besaran angka penurunan ekspor dalam waktu dekat. "Dalam 3 bulan ke depan akan terjadi pengurangan volume eskpor," tuturnya.

Efek krisis saat ini, berbeda dengan efek krisis 1997-1998. Mantan Mentan Bungaran Saragih, guru besar IPB lulusan doktor bidang ekonomi dari North Carolina State University, AS (1980), sektor pertanian mampu bertahan ketika Indonesia dalam kondisi krisis ekonomi.

Sejak krisis ekonomi menerpa Indonesia pada pertengahan 1997, sebagian besar masyarakat berharap banyak terhadap sektor pertanian (Agribisnis) sebagai penghela atau landasan pemulihan ekonomi.

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pertengahan 1997, diawali oleh krisis moneter yang melanda Thailand, Korea Selatan dan terus merambat ke sebagian besar negara-negara di Asia Timur.

Indonesia termasuk negara yang merasakan dampak yang paling serius dan sangat luas. Hal ini terlihat dari indikator makroekonomi pada 1998 seperti terjadinya kontraksi ekonomi yang mencapai -13,8%, di lain pihak inflasi meningkat hingga 76%, dan nilai tukar rupiah pun merosot kira-kira 300% atau lebih.

Dalam situasi seperti itu, kata pria kelahiran 17 April 1945 di Pematang Siantar, Sumut, menandakan pertanian perkebunan dan kehutanan mampu memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional.

Kali ini, sektor pertanian harus bertarung. Jimmy mengatakan pemerintah sebaiknya segera membuat kebijakan yang melindungi dunia usaha, terutama dari sektor perbankan. Misalnya, eksportir yang selama ini berhasil, sebaiknya di-back-up ketika menemui kesulitan keuangan, terutama yang muncul akibat dampak dari krisis tersebut.

Jimmy mengatakan BRIK kini akan berusaha mencari pasar lain selain ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pangsa pasar yang menjadi peluang adalah Amerika Latin, India maupun Timur Tengah.

Selama ini, katanya, ekspor terbesar BRIK berada di Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan China. Selain itu, BRIK juga mengimbau kepada anggotanya untuk lebih efisien di segala bidang termasuk biaya.

Staf ahli Menteri Kehutanan Togu Manurung mengatakan daya beli pengusaha perumahan di Amerika Serikat semakin berkurang menyusul terjadinya krisis keuangan. "Daya beli peng- usaha perumahan berkurang untuk membeli produk kayu olahan dari Indonesia," tuturnya.

Berkurangnya pembelian itu, katanya, berdampak terhadap pendapatan para pengusaha industri perkayuan. "Bukan hanya daya beli di Amerika yang berkurang, tidak menutup kemungkinan sejumlah negara lainnya, termasuk Eropa juga berkurang kemampuan daya belinya," tuturnya.

Menurut dia, pemerintah memberikan opsi kemudahan pengurusan rencana kerja ta-hunan (RKT) kepada para pengusaha sektor kehutanan.

"Sebaiknya, para pengusaha itu tidak perlu bersusah payah mengurus RKT melalui dinas kehutanan, sehingga lebih memudahkan kelancaran usahanya," ujarnya. (martin.sihombing@bisnis.co.id/erwin.tambunan@bisnis.co.id)

Sumber:http://web.bisnis.com